Ini adalah kisah Nabi kita, Nabi Muhammad SAW. Moga semua pembaca mendapat ketenganan dan kerahmatan dariNya. Dan kepada penulis, semoga mendapat pahala yang besar daripada Allah. UJ sekadar menyampaikan sahaja.
Sesungguhnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Nabi Muhammad saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman,
“Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.”
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam bahkan menjadi pelengkap bagi agama Islam. Nabi Muhammad saw adalah hamba Allah SWT, Rasul-Nya dan kekasih-Nya serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahawa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam. Ia menuju pintu khemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di selimuti dengan malam kemudian ia kembali menutup pintu khemah dan tidur. Belum pun dia terlena dari tidurnya, Abdul Muthalib kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Kali ini, semuanya Nampak begitu jelas. Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting, “Galilah zamzam!” Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya: “Apakah itu zamzam?” Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu mengatakan bahawa ia diperintahkan untuk menggali zamzam.
Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu khemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah erti zamzam? Tiba- tiba fikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahawa pasti zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawapan selain satu jawapan dari pertanyaan ini, iaitu agar orang- orang yang berhaji dan berkeliling di sekitar Ka’bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam memikirkan kisah lama yang mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan bahawa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Pada pagi harinya, Abdul Muthalib keluar menemui kaumnya, dan menceritakan kepada mereka bahawa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu yakni tempat yang diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang- orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan Nalah. Abdul Muthalib merasa bahawa usahanya sia- sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahawa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. Bahawasanya ia tidak memiliki anak- anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka’bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Abdul Muthalib berkata: “Jika aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka’bah sebagai bentuk korban.”
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun, isterinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang ke sembilan, sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu. Tetapi ia harus menunaikan nazarnya yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahawa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih di kawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan rohaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh kerana itu semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, “Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada dukun.”
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: “Berapakah taruhan yang kalian miliki?” Mereka menjawab: “Sepuluh ekor unta.” Dukun itu berkata: “Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah.”
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi- lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka kerana melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka’bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka’bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Maka bernikahlah Aminah binti Wahab dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah haiwan- haiwan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama isterinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada khabar bahawa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu bayang- bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan mereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahawa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman- pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sanalah ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Khabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga khabar itu sampai ke isterinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui jawapannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahawa ia sedang hamil. Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahawa janin yang dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang- orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang tumbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahawa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di sekitar Ka’bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahah mendekati Mekah.
Bersambung minggu hadapan…
Diolah sedikit: UJ
Sumber dari: http://jaipk.perak.gov.my/index.php/Kisah-Para-Anbia-/Nabi-Muhammad-s.a.w.html dan http://harmoni-my.org/arkib/kisahnabi/ [lebih kurang sama saja]

bagus tuh kisahnya… 😀 jadi lebih tau tentang kehidupan Nabi SAW 🙂
[Balas Cakap]